Perbedaan penentuan awal bulan hijriah disebabkan oleh bedanya metode dan pemahaman yang digunakan. Banyak sekali metode yang digunakan sebagai penentu awal bulan hijriah. Namun secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga macam metode yaitu: rukyat, hisab, dan imkanur rukyat. Metode rukyat merupakan cara untuk menentukan awal bulan dengan cara melihat langsung hilal baik menggunakan mata telanjang atau menggunakan bantuan alat. Metode hisab merupakan cara penentuan awal bulan dengan menggunakan perhitungan. Sedangkan metode imkanur rukyat merupakan kombinasi dari metode hisab dan rukyat. Dengan menggunakan metode yang berbeda dalam penentuan awal bulan sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan dalam pengambilan keputusan.
Selain
metode yang menjadi penyebab perbedaan, juga pemahaman merupakan penyebab orang
berbeda. Meskipun dasar hukum yang dipakai sama, akan tetapi beda dalam
memahaminya maka akan muncul pula perbedaan. Seperti pemahaman tentang hadits
Rasul SAW sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abdullah bin
Umar, dia berkata: Saya pernah mendengar Rasulallah SAW bersabda, ... Apakah
kamu melihat hilal (pada awal malam Ramadhan) maka berpuasalah dan apabila kamu
melihat hilal (pada awal malam Syawal) maka hentikan puasa, dan apabila langit
diselimuti awan (sehingga hilal tidak terlihat) maka genapkan Ramadhan (30
hari). [HR Bukhari nomor 1900].
Dalam
hadits yang lain dikatakan:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulallah SAW menuturkan hilal lalu bersabda: Apabila kamu melihat
hilal maka berpuasalah, apabila kamu melihat hilal maka berbukalah, dan apabila
kamu tidak melihat hilal maka hitunglah 30 hari. [HR Bukhari nomor 1909].
Kata
“melihat” dalam dua hadits di atas dijadikan dasar oleh orang-orang yang
fanatik menggunakan metode rukyat bahwa penentuan awal bulan hijriah harus
melihat langsung. Bahkan yang sangat fanatik tidak boleh menggunakan teropong
dengan alasan Rasul dulu tidak memakai teropong. Lalu yang menjadi pertanyaan,
bagaimana jika setiap awal bulan selama 12 bulan berturut-turut hilal tidak
pernah terlihat karena cuaca yang tidak mendukung? Barangkali jawabannya
digenapkan menjadi 30 hari. Pertanyaan selanjutnya jika demikian berarti 1
bulan selalu 30 hari, padahal 1 bulan kadang 29 hari sebagaimana hadits Nabi
SAW:
Diriwayatkan dari Ummu Salamah,
bahwasannya Nabi SAW pernah bersumpah untuk tidak masuk ke tempat sebagian
keluarganya selama satu bulan. Ketika telah berlangsung 29 hari beliau pergi
mendatangi keluarga beliau, lalu beliau ditanya, “Bukankah Anda telah bersumpah
untuk tidak masuk ke tempat kami selama 1 bulan, wahai Nabi ?” Beliau menjawab,
“Sesungguhnya satu bulan itu adakalanya 29 hari”. [HR Bukhari nomor 1910].
BEBERAPA
PENDAPAT YANG MENGUATKAN METODE HISAB:
1. Berdasarkan
HR Bukhari nomor 1900 dan 1909 di atas dibolehkannya menghitung/hisab
2. Kata
“melihat” dalam dua hadits di atas tidak hanya diartikan secara tekstual akan
tetapi bisa diartikan “melihat dengan menggunakan ilmu”. Hal ini selaras dengan
hadits Nabi SAW yang lain: “Sholatlah
kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat”. Jika kata “melihat” hanya
diartikan tekstual yakni melihat secara langsung maka mustahil kita bisa sholat
seperti cara Nabi SAW sholat, karena kita tak pernah bertemu langsung dengan
Nabi. Namun jika kita artikan “melihat dengan menggunakan ilmu”, maka bukan hal
yang mustahil kita bisa melakukan sholat seperti Nabi.
3. Zaman
Nabi SAW sering menggunakan rukyat dikarenakan pada masa itu umat islam belum
mampu menggunakan hisab sebagaimana hadits di bawah ini:
Diriwayatkan
dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW beliau bersabda: Kami adalah umat yang ummi yang
tidak pandai menulis dan menghitung, sebulan itu sekian, sekian dan sekian
(beliau melipat ibu jarinya tiga kali) dan sebulan itu sekian, sekian dan
sekian, yakni lengkap 30 hari. [HR Bukhari nomor 1913].
4. Metode
rukyat tidak mampu memprediksi jauh-jauh hari tentang awal bulan, dikarenakan
harus melihat langsung. Akan tetapi metode hisab mampu memberikan kepastian
waktu meski cuaca seburuk apapun dan dapat diprediksi dengan cepat serta tepat
penentuan awal bulan hijriah jauh-jauh hari. Sebagaimana Firman Allah SWT:
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat kedudukan bulan),
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq (benar). Dia menjelaskan
tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. 10:5).
Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah
dia sampai ke manzilah yang
terakhir) kembalilah dia seperti pelapah yang tua. (QS 36:39).
5. Dengan
menggunakan metode rukyat kita tidak bisa membuat kalender hijriah yang standar
karena akan berubah-ubah. Namun metode hisab dapat menentukan kalender hijriah
yang dapat dijadikan acuan oleh umat islam dalam segala kegiatan baik ibadah
maupun muamalah yang terstandarkan.
Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah
ketika Dia menciptakan langit dan bumi, ... (QS 9:36).
Mereka
bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Bulan sabit itu
adalah penentu waktu bagi manusia dan (bagi penentuan waktu ibadah) haji. (QS
2:189).
Metode
imkanur rukyat yang merupakan gabungan dari metode hisab dan rukyat yakni
menghitung/hisab dengan menggunakan data-data rukyat sebelumnya tentang
kemungkinan hilal bisa dirukyat. Data kemungkinan hilal bisa dirukyat itu yang
dikenal sebagai kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal. Data-data
yang digunakan sebagai kriteria imkanur rukyat bersifat fleksibel karena akan
sangat bergantung pada waktu, tempat, dan alat yang digunakan sehingga
saat-saat tertentu dapat menimbulkan ketidakpastian. Ketiga variabel inilah
yang dapat mengubah kriteria imkanur rukyat. Misalkan saja untuk wilayah
Indonesia, berdasarkan data-data rukyat yang dijadikan sebagai kriteria hilal
terlihat sekitar 6 derajat lebih, akan tetapi kita menggunakan standar 2
derajat yang sebenarnya belum memenuhi kriteria tersebut. Belum lagi jika kita tinjau dari segi alat
yang digunakan. Tentunya kriteria akan berubah/berbeda antara menggunakan mata
telanjang, teropong biasa, teropong canggih, dan mungkin suatu saat akan muncul
teropong super canggih yang mampu melihat hilal dalam hitungan nol koma sekian derajat.
Itu bukan suatu hal yang mustahil seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang kian canggih. Wallahu a’lam